Archive

Posts Tagged ‘Campillos’

Mau tahu rasa kotoran babi..?

February 19, 2012 2 comments

Survey Campillos

Survey di pedesaan Campillos

Merasakan makanan yang mengandung daging babi (mungkin) anda pernah. Tetapi merasakan kotoran babi..? Tidak semua orang, sekalipun penikmat babi, pernah mendapat kesempatan untuk merasakannya…! Saya termasuk kelompok yang sangat jarang itu.

KKN di daerah pertanian yang banyak terdapat peternakan babi memang mempunyai risiko yang besar. Risiko ini memang hanya untuk orang-orang “yang beruntung” mengalami hal yang tidak bisa ditolak lagi.

Kelompok tugas lapangan saya mendapat bagian di desa Campillos, desa pertanian di pedalaman Provinsi Malaga, daerah otonomi Andalusia, Spanyol. (Peta Google klik disini). Salah satu aktivitas kami di lapangan adalah melihat kedalaman top soil dari beberapa titik sample yang sudah ditentukan.

Yang ditentukan adalah lokasi field-nya, sedangkan posisi titik yang harus diambil sample-nya terserah pada kami. Kami dapat menentukan sesuai dengan “buku manual” yang telah disiapkan. Yang menjadi konsentrasi kami adalah top soil pada lokasi dimana tanaman zaitun dan sunflower berada.

Bor tanah adalah senjata kami. Setelah titik ditentukan maka kami bergantian menggunakan bor. Berganti saat mengebor tanah memang tampaknya harus dilakukan, ini dikarenakan permukaan tanah memang sangat keras. Pemberian air untuk melunakkan titik pengeboran cukup membantu, namun itu berarti mengurangi jatah minum kami di tengah padang yang panasnya selalu mencapai 40 derajat Celsius.

Pada kedalaman tertentu pengeboran kami hentikan. Di bagian batang bor terdapat tanah dimana kami melakukan pengukuran mengenai tekstur, dan lain-lain.

Satu siang, kami mencapai lokasi pengeboran dan kami segera melakukan sesuai petunjuk pelaksanaan. Setelah titik terpilih, dan kami berikan air sedikit untuk memudahkan masuknya mata bor, bergantilah kami ngebor titik tersebut. Agak aneh karena di tanah ini terlihat agak gembur seolah baru saja disiram hujan. Beda dengan field sebelumnya.

Berhubung grup saya terdiri dari lima orang dimana dua diantaranya perempuan, maka tiga tersisalah yang selalu bertugas dalam pengeboran.

soil-testing

soil testing with probe (illustration)

Kedalaman sudah sesuai dan segera kami melakukan investigasi. Tekstur, warna, dan lain-lain selesai. Bagian akhir adalah… merasakannya… Ya, merasakan rasa tanah tersebut. Caranya adalah dengan menempelkan tanah pada indera pengecap kita, tentunya. Bagian ini adalah bagian yang paling tidak diinginkan, kami saling menolak dan menyodorkan ke yang lain. Biasanya, kesepakatan akhir adalah kami merasakan bersama-sama. Itulah kesepakatan yang terjadi untuk titik ini juga. Kami akan melakukan semua, merasakan tanah sample kami.

Satu, dua, tiga… dan semua merasakan tanah di indera perasa masing-masing.

Selesai, kami catat, dan segera membereskan peralatan dan buku untuk segera menuju ke titik yang lain.

Saat berjalan keluar dari field, kami melihat sebuah traktor dengan petani yang sedang mengoperasikannya. Traktor tersebut sedang menyemprotkan pupuk cair dari container di belakang traktor. Bau menyengat segera terasa. Bau yang selalu mengganggu kami karena terasa dari tempat kami menginap di desa Campillos. Bau dari peternakan babi…! Kami segera “membahas” bau ini dan…

Yup, benar, kesimpulan kami sama, sang petani sedang menyiramkan kotoran babi sebagai pupuk tanaman di padang zaitun ini untuk memperkaya zat organik pada top soil.

Eh… di padang zaitun ini..???

Artinya… tanah yang kami rasakan tadi, yang agak basah tadi, juga baru saja disemprot oleh pupuk nonkimia dari peternakan babi..???

Yeaaach…!!! Mau…???

Valentine’s Days, berhari-hari dengan Valentine

February 15, 2012 2 comments

Campillos

Padang zaitun di Campillos

Valentine’s Day, yang diartikan “hari kasih sayang” sudah jamak diramaikan oleh orang-orang. Yang meramaikan tentunya adalah orang-orang kota atau yang telah terjangkau informasi global via televisi dan internet. Hari “kasih-sayang” inipun semakin membesar setelah industri masuk, dan memang ternyata menjadi hari yang layak jual bagi para penghasil produk tahunan, baik berupa barang ataupun jasa. Arti sesungguhnya dari Valentine’s day itu apa, udah gak perlu dibahas lagi. Begitulah.

Saya pun pernah merasakan hari Valentine, mungkin tepatnya adalah “hari-hari Valentine”. Masa ini saya rasakan saat menjelang akhir dari studi master saya di negeri bawah air laut, Belanda.

Kenapa “hari-hari Valentine” dan bukannya “hari Valentine”..?

Karena saya merasakannya berhari-hari, bukan hanya satu hari saja.

Apakah ini tentang Valentine’s day yang diramaikan khalayak dunia..? Sayang sekali bukan. Ini adalah tentang hari-hari dimana saya “terpaksa” berjalan bersama dengan dosen saya yang bernama Valentine. Cewek..? Bukan juga. Ia seorang dosen cowok.

Pak Valentine saat itu adalah dosen baru. Malahan duluan saya yang masuk daripada dia ke sekolah itu. Ia masih tergolong muda dengan perawakan yang gemuk (maaf, mungkin lebih cocok: bulat). Gaya bicaranya santai, suaranya pelan dan bahkan nyaris tak terdengar. Kalau ia tertawa pasti akan membuat kita juga tertawa. Cukup baik dalam berkomunikasi dengan mahasiswa, walau terkesan pendiam.

Saat yang berkesan adalah saat beliau menjadi pendamping group kami di lapangan. Ini terjadi pada tahun 2003. Kegiatan lapangan yang saya maksud disini adalah semacam kegiatan KKN, atau kuliah kerja nyata. Saat mana para mahasiswa dicampur kemudian diterjunkan ke suatu daerah dan diberi tugas “menyelesaikan masalah” yang ada di daerah tersebut sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.

Kami dibagi menjadi dua kelompok, dan kelompok saya mendapat bagian di desa Campillos, desa pertanian di pedalaman Provinsi Malaga, daerah otonomi Andalusia, Spanyol. (Peta Google klik disini). Saya satu-satunya orang Indonesia dalam kelompok Campillos ini.

Kelompok Campillos ini dibagi lagi menjadi 4 grup, dengan masing-masing grup terdiri dari lima mahasiswa. Pak Valentine menjadi pengawas kelompok kami, termasuk grup saya.

Apa yang unik dari pak Valentine ini..? Ia adalah orang yang selalu membawa buku acuan, buku referensi. Sepanjang kami melintas padang zaitun, padang sunflower, dan padang wheat, ia selalu merujuk pada buku sebagai panduan penjelasannya pada kami.

Begitu juga saat kami melakukan banyak hal terkait dengan pertanian dan spasial. Buku tak pernah lepas dari genggamannya dan juga “sepertinya” dia mengetahui sekali komputer dan internet. Tiap kali kami mencapai basecamp sepulang dari survey pagi dan melepas lelah sambil santap siang, ia selalu mengakses internet dan memberi kami perintah-perintah yang asik punya.

Asik punya disini adalah perintah atau pemberitahuan yang berkesan “kami tidak mengenal IT sama sekali”. Ia memberitahu ini-itu pada saya yang “tidak perlu” sama sekali. Dan perilaku ini juga berlaku saat saya dan grup berada di lapangan. Saat berada di tengah padang zaitun dalam rangka mapping dan pengambilan sample tanah.

Ia selalu menerangkan dengan detil berdasarkan “buku”. Menurut buku, kalau anda melakukan ini maka begini caranya. Menurut buku, kalau melakukan itu maka begitu caranya. Anda harus ini dan itu sesuai dengan buku manual ini. Titik.

Bisa dibayangkan bagaimana situasi lapangan jika dibatasi oleh buku dan buku saja..? Mmm, bagi anda yang belum pernah survey di lapangan mungkin tidak terlalu paham apa yang saya maksudkan, maaf.

Bagi saya, survey lapangan adalah hal yang biasa saya lakukan dalam berbagai jenis kondisi medan. Keberagaman kondisi dan juga situasi yang tidak menentu membuat kita harus bisa berimprovisasi saat melakukan pengukuran ataupun perekaman obyek. Buku adalah acuan ideal tetapi kondisi ideal hampir pasti tidak akan pernah kita temui pada saat survey yang sesungguhnya.

Perbedaan cara pandang dalam perekaman dan pengambilan sample lapangan membuat saya selalu melancarkan protes pada si pak dosen tersebut. Tidak jarang kami beradu argumen. Tidak jarang pula saya bersungut-sungut karena “tidak terima” dengan apa yang digariskan olehnya. Sementara anggota grup lainnya cenderung nrimo. Ehm, ternyata budaya nrimo bukan monopoli suku tertentu saja… : )

Pertentangan di lapangan dan juga saat diskusi di basecamp membuat suasana grup saya tidak terlalu nikmat. Dan ini harus dilalui sepanjang lebih kurang 20 hari, sodara-sodara

Suhu yang sangat panas disiang hari, selalu mencapai 40 derajat Celsius, ikut memanaskan semuanya. Musim panas, yang membuat waktu maghrib menjadi pukul 21:30, ikut menggerahkan perasaan… panas dan gersang…

Benar-benar KKN yang tidak asyik. Eh, nanti dulu, banyak juga asyiknya kok, terutama saat tim bisa melepaskan diri dari pengawasan si bapak dosen itu. Akan saya ceritakan pada waktu lain.

Setiap langkah dari grup kami selalu diganjal oleh buku si pak dosen. Bukan diganjal, mungkin, tetapi lebih tepat dibatasi oleh buku dan buku. Seolah grup kami benar-benar baru pertama kali menginjakkan kaki di alam ini.

Singkat cerita, kamipun selesai dan segera pulang ke desa perbatasan Belanda-Jerman, kota Enschede, dimana sekolah kami berada. Beberapa waktu kemudian kami mendapatkan nilai dari hasil kerja lapangan.

Dan… sayapun mendapat nilai minimal, sedangkan rekan-rekan satu grup lainnya mendapatkan nilai maksimal.

Pelajaran yang saya dapat: “untuk mendapatkan nilai maksimal maka budaya nrimo masih yang terbaik.”

: )